Saturday, January 21, 2012

Rintik Hujan di Pantai Selatan [3]

Pada bagian yang lalu diceritakan, Arya Bagelan sedang duduk di bagian depan rumahnya bersama putrinya Zaenab (klik), ketika terdengar suara salam.
"Assalamuallaikum"
"Wa Allaikum Salam" jawab Arya Bagelan menjawab "Ooo...anakku lanang, ngger, Teja Basakara"
Tampak Teja Baskara mencium tangan ayahnya, Arya Bagelan, yang disambut dengan usapan ke rambut penuh cinta dan kasih seorang ayah kepada anaknya. 
"Kang Mas"ucap Zaenab penuh dengan kebahagian, dengan mencium tangan kakaknya.
"Tambah cantik adikku, ck..ck..ck, pasti banyak laki-laki yang jatuh cinta padamu" kata Teja Baskara, sambil mengatur tempat duduknya"Ibu dimana Romo?"


"Dibelakang, Zaenab, ibumu diberitahu kalau anak lanangnya pulang" Arya Bagelan menyuruh putirnya untuk memanggil ibunya "Bagaimana keadaan Kasultanan, Kanjeng Sultan dan Kanjeng Pangeran Diponegoro"
Ditanya sang ayah, Teja Baskara mulai bercerita " Keadaan Kasultanan dalam keadaan genting, ayah, Kompeni melalui patih Danurejo ingin menguasai dan mempengaruhi Kanjeng Sultan, yang masih terlalu kecil untuk menjadi raja, agar lepas dari pengawasan Kanjeng Pangeran, segala upaya mereka lakukan, hingga memaksakan kehendak untuk membuat jalan kereta api dari Batavia hingga ke Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat"
"Hmmmmmm, sampai begitu kelakuan kompeni" ucap Arya Bagelan
"Walahhhh, nggera anakku lanang, hampir 2 purnama kok belum kembali, cah bagus" seorang wanita paruh baya muncul di ruang depan.
"Ibu, maafkan Teja Baskara, yang telah membuat ibu cemas" ucap Teja Baskara sambil mencium tangan ibunya. Tampak suasana keluarga yang hangat di rumah Arya Bagelan, setelah canda dan tawa yang tidak begitu lama, Arya Bagelan berkata "Ngger teruskan ceritamu Tadi, sambil minum dan makan geblek buatan ibumu"
Sambil mengambil geblek, Teja Baskara melanjutkan ceritanya "Sebetulnya, Kanjeng Pengeran, memberikan sudah memberikan ijin untuk membangun jalan kereta api tersebut, ada dua pilihan, jalan kereta dibuat diutara Tugu, dan pilihan kedua, jika kompeni memaksakan kehendak harus di selatan Tugu maka jalan kereta api itu harus dibawah tanah, Kanjeng Pengeran bersikeras karena wasiat Kanjeng Sultan yang pertama, agar jalan antara Tugu ke arah selatan hingga Pagelaran Kraton tidak boleh dipotong dengan jalan apapun, harus lurus seperti huruf hijaiyah Alif"
"Ngger, itu hanya siasat kompeni agar, Kanjeng Pangeran marah dan mengambil posisi berseberangan dengan kompeni, yang pada akhirnya, kompeni ingin melenyapkan Kanjeng Pangeran dari Kasultanan, karena Kanjeng Pangeran dianggap sebagai batu sandungan mereka untuk mempengaruhi Kanjeng Sultan" kata Arya Bagelan.
"Sebetulnya tanah yang dilewati jalan kereta api itu punya siapa Romo, kok Kanjeng Pengeran marah dengan kompeni?" tanya Zaenab.
"Nab, semua tanah, bumi dan semua bangunan yang berdiri di tanah Kasultanan Ngayogyokarta Hadiningrat itu milik Kanjeng Sultan, sedang Kanjeng Pangeran itu kakaknya Kanjeng Sultan, karena Kanjeng Sultan yang pertama telah berwasiat, maka Kanjeng Pangeran sangat marah dengan rencana kompeni tersebut" jelas Arya Bagelan.
"Puncaknya romo, ketika pertengkaran antara patih dengan Kanjeng Pangeran, hingga tewasnya patih" kata Teja Baskara
"Hmmmm.....isyarat sudah muncul, akan terjadi peperangan besar di tanah jawa" ucap Arya Bagelan "Kamu sekarang istirahat dulu, nanti habis maghrib kita bicarakan lagi" sambil mengamati ada sesuatu yang menarik perhatian Arya Bagelan, seorang santri baru, dari tadi duduk tidak jauh dari mereka dan mencuri dengar sambil membetulkan sapu yang digunakan untuk menyapu halaman yang dipenuhi dengan daun gayam.
"Dia orang baru, santri lama tidak pernah mempunyai kelakuan seperti itu, aku harus tetap waspada, bagaimanapun juga Abdul Sofyan sangat berkeinginan menguasai wilayah Bagelan ini" desis Arya Bagelan.
Siapakah Abdul Sofyan, kita temui di cerita selanjutnya (bersambung....) 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.