Friday, September 23, 2011

Negeri Diatas Awan [2] : Malin Kundang

Manusia yang membatu terbujur kaku di tepian lautan menjadi bukti fisik cerita rakyat di daerah Sumatra Barat, tentang seorang anak yang telah berbuat durhaka pada sang Ibu. Dilahirkan dan dibesarkan agar kelak menjadi orang yang berguna. Kisah ini mirip sekali dengan Indonesia (anak) saat masa kemerdekaan dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (ibu) yang pada masa itu Indonesia dipimpin oleh Sukarno sedangkan Kasultanan dipimpin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kisah sang ibu yang merupakan sebuah Kasultanan yang memiliki struktur pemerintahan yang telah berusia ratusan tahun dan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada awal kemerdekaan menyatakan bergabung dengan negara baru yang bernama Indonesia (anak). Berikut isi maklumat tersebut :
SRI PADUKA INGKENG SINUWUN KANGDJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
  1. Bahwa Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja kami pegang seluruhnya.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.


Ngajogjakarta Hadiningrat, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945


SRI PADUKA KANGDJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII Kepala Negeri Paku Alaman, Negeri Ngajogjakarta Hadiningrat menjatakan:
  1. Bahwa Negeri Paku Alaman jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
  2. Bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alaman, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnja Kami pegang seluruhnja.
  3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan Kami bertanggung djawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaja segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman.


Paku Alaman, 28 Puasa Ehe 1876 atau 5-9-1945



Perjalanan ibu dan anak saat mengarungi kehidupan awal kemerdekaan tidak 'mulus', pihak penjajah sangat berkepentingan dengan Indonesia melakukan pendekatan ke Kasultanan, agar Kasultanan tidak berpihak pada Indonesia, tetapi pihak Kasultanan menjawab dengan tindakan 'memberikan' tempat bagi sang 'anak' yang telah kehilangan wilayah kekuasaannya, hingga dapat dikatakan saat itu wilayah Indonesia tinggal Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Tidak berhenti disitu saja kasih sang ibu kepada anak, modal keuangan dalam mendirikan negara mendapat dukungan pihak Kasultanan ( Pada saat Ibukota Negara berada di Yogyakarta, semua Kabinet termasuk Presiden (Soekarno) dan Wapres (Hatta) digaji oleh Sultan (memoar Ny. Rahmi Hatta) ). Pengorbanan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tidak berhenti disitu saja, berikut cerita yang diambil dari buku "Tahta untuk Rakyat" :  Pada saat Agresi Militer Belanda di Yogyakarta, Sultan berunding dengan Belanda diwakili adiknya Pangeran Bintoro (kemudian menjadi Anggota BPUPKI) dan pada perundingan tersebut Sultan diminta tidak ikut campur masalah Republik Indonesia dan Belanda (untuk menjadi ibukota) dan sebagai imbalannya diberikanlah kekuasaan atas tanah bekas Kraton Mataram meliputi Kedu, Solo, Madiun, Kediri, Banyumas. Pada perundingan pertama gagal, akhirnya pada perundingan ke-2 ditambahkanlah imbalan kekuasaan meliputi Jawa tengah, Jawa Timur dan Madura. Untuk inipun Sultan tidak mau menerimanya. Akibatnya kota Yogyakarta diserbu dan Kraton dikepung. Panglima Belanda untuk Wilayah Jawa, Jenderal Spoor, mendatangi gerbang keraton dengan 3 panser untuk memaksa masuk dan HB IX menyambutnya di gerbang Alun alun utara Keraton [Kasultanan] dan berkata,”Anda dapat memasuki Kraton tapi harus melangkahi mayat saya”. Belanda pun mundur dari Kraton tetapi tetap mengurung Kraton. Karena tidak bisa keluar, HB IX memerintahkan abdi dalem keraton Selo Soemardjan (Prof. Dr. Selo Soemardjan pendiri Fisip UI) untuk menghubungi Panglima Soedirman dan Soeharto untuk merencanakan serangan (yang kemudian dikenal dengan “Serangan Oemoem 11 Maret”).

Yogyakarta, sang ibu, kini sedang gundah gulana, selalu berdoa agar anaknya tidak durhaka, agar tidak menjadi malin kundang selanjutnya. Jangan hanya karena keserakahan dan kekuasaan sang anak lupa kepada ibu yang telah membesarkan, meski sang ibu tidak butuh pengakuan, sang ibu tetap tegar melintasi jaman. Sang ibu tetap akan selalu dikenang. Jaya bangsaku, maju negeriku. [ Dedicated to my Great Teacher]

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.